Rabu, 03 Desember 2008

13 Tahun Eman Bata Berkarya

TAK terasa tigabelas tahun sudah Eman Bata Dede berkarya. Setelah malang-melintang Ibukota Jakarta kurang lebih delapan tahun, Eman pulang kampung tahun 1992. Tiga tahun kemudian (1995), Eman Bata Dede mulai meluncurkan album perdana dengan modal nekad.

Tak dinyana lagu gawi Gole Ngalu meledak di pasar. Disambut gegap-gempita oleh masyarakat Ende Lio. Sejak saat itulah Eman Bata Dede dikenal sebagai pelestari lagu gawi. Tarian Gawi tidak hanya disukai orang Ende-Lio tetapi virusnya menyebar ke seluruh Pulau Flores, bahkan Nusa Tenggara Timur.

Berikut ini karya Eman Bata Dede selama 13 tahun, baik album solo maupun grup. Hampir 90 persen Eman selalu tampil dalam Grup. Sebagai produser, Eman telah mempopulerkan banyak artis penyanyi lokal Kabupaten Ende.

Album-album Eman Bata Dede
1. Gawi Gole Ngalu tahun 1995. Kolaborasi pertama dengan Roman Gesiraja, Lusi Wensi.

2. Gawi Joka Ju, tahun 1997. Bersama Roman, Lusi, Karim Woghe. Laris manis. 

3. Pedha Raka Wesa Vol 1, album solo tahun 1999.

4. Gawi Doja Dua Lulu wula, More Nggae wena tana (Gawi 2000). Meledak.

5. Bujang lawan Bujang, 2001. Kerja sama dengan Pieter Kedang. Lagu Indonesia gaya Lio. Tahun yang sama produksi VCD Gawi 2000.

6. Memproduseri Gambus Petrus Soi, tahun 2002.

7. Gawi Rohani "Sangga Sula" tahun 2002.

8. Gawi TBC, 2003. Penyuluhan tentang penyakit TBC, kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Ende. Tahun yang sama memproduseri Anas Dale, album Lema Ghelo.

9. Gawi Unu, 2004. Tentang lingkungan, sampah, dll. Kerja sama dengan Bappeda Ende. Bersama Bentom.

10. Tahun 2005, produksi VCD Nia Ngere Roa dan Gawi TBC.

11. Tahun 2006, album Petrus Soi vol 2.

12. Tahun 2007, Mbeka. VCD.

13. Tahun 2008, Gawi Koperasi, penyuluhan tentang Koperasi. Kerja sama dengan Dinas Koperasi Kabupaten Ende dan Gawi Rohani. Dalam waktu dekat Eman akan meluncurkan satu album baru yang disebutnya sebagai hadiah Natal dan Tahun Baru 2009. *
Lanjut...

Minggu, 16 November 2008

Eman luncurkan album Gawi Koperasi

EMAN Bata Dede baru saja meluncurkan album gawi yang baru dalam tahun 2008. Judulnya Gawi Koperasi. Album ini diluncurkan pada tanggal 12 Juli 2008. Isinya adalah sosialisasi perkoperasian dalam budaya Ende Lio. Album Gawi Koperasi merupakan hasil kolaborasi antara Studio Rawes Record pimpinan Eman Bata Dede dengan Dinas Koperasi dan PKB Kabupaten Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Delapan lagu dalam album tersebut merupakan karya Eman Bata Dede/Hu Hajo yaitu Gawi Koperasi, Beta Data, Koperasi Tau Paga Negi, Mai Maso Koperasi, Ate None, Jodo Nekule, Ana Kalo dan Aku Ngala Muri.

Dinas Koperasi dan PKM Kabupaten Ende mengandeng Eman Bata Dede menelurkan karya tersebut terinspirasi dengan keberhasilan dari Bappeda dan Dinas Kesehatan Kabupaten Ende yang lebih dulu bekerja sama dengan Eman. Tahun 2004, Dinas Kesehatan Kabupaten Ende melakukan kampanye besar-besaran menekan penyakit TBC melalui lagu bahasa daerah Ende Lio. Mereka menggandeng Eman dan lahirkan Gawi TBC.

Setahun kemudian (2005), Bappeda Kabupaten Ende mempunyai program sosialisasi tentang kebersihan lingkungan. Maka lahirlah Gawi Uni karya Eman Bata Dede. Kerja sama dengan tiga instansi di Kabupaten Ende membuktikan bahwa pesan yang disampaikan Eman via lagu-lagunya menyentuh sasaran. Filosofinya adalah rakyat Kabupaten Ende menerima pesan dalam bahasa dan budayanya sendiri. 

Dalam album Gawi Koperasi, selain sosialisasi pemerintah lebih menyentuh sasaran, lagu-lagu tersebut mengandung banyak pesan bernas bagi siapa saja untuk menata kehidupan ekonomi. Sisi entertain tetap Eman pertahankan. Lagu ini bisa dipakai untuk gawi, joget, poco-poco, dansa dan sebagainya. Pokoknya sangat cocok kaset CD album ini dikoleksi dan dimiliki penggemar lagu-lagu daerah Ende Lio dan terutama para fans fanatik Eman Bata Dede.

Anda yang berminat silahkan menghubungi Eman melalui emai emanbatadede@yahoo.com, hp 081 353 728 740 atau langsung mendatangi Studio Rawes Record, Jl. Hayam Wuruk, depan SDI Inpres Onekore 3, Ende. Flores. Manajemen Eman Bata Dede selalu menerima dengan senang hati. *
Lanjut...

Sabtu, 27 September 2008

Eman Bata Dede, Pelestari Budaya Lio

HARUS diakui, tarian rakyat bernama gawi selama lebih setahun belakangan telah berhasil mendominasi berbagai kesempatan pesta suka atau bergembira ria di Ende dan sekitarnya. Pengaruhnya kini meluas di kota dan perkampungan lain di Pulau Flores.

Sementara di Kota Kupang -kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di Pulau Timor-gawi di kalangan terbatas juga telah menjadi pilihan mengisi acara pesta suka (gembira). Kehadiran gawi secara perlahan telah berhasil menggeser tarian massal lain yang berbau "impor" seperti dansa, joget atau poco-poco.

Terletak di bagian tengah Pulau Flores, Kabupaten Ende adalah satu dari lima kabupaten di pulau tersebut. Penduduk Ende yang kini sekitar 220.000 jiwa, adalah warga dari dua etnis induknya: Lio dan Ende. Warga etnis Lio mendominasi daerah pegunungan hingga pedalaman. Sementara warga etnis Ende tersebar sepanjang pesisir dan terbanyak di Kota Ende dan sekitarnya.

Khusus di lingkungan etnis Lio, gawi adalah tarian wajib ketika pesta adat seperti syukuran panen yang disebut mbama, atau ketika wake laki (pengukuhan) mosalaki (raja), nai sao (peresmian rumah adat utama) yang disebut sao ria, atau one ria.

Gawi pun bisa dipentaskan ketika acara bebas atau gembira ria ketika pesta nikah. Dua jenis tarian massal yang masih menjadi pilihan susulan adalah roka tenda dan poco-poco. Sementara tarian jenis joget dan juga dansa, sudah amat jarang muncul dalam pentas.

***
SIAPA yang paling berpengaruh dalam perubahan pentas acara suka ini? Dalam hal ini tidak ada yang berani meragukan apalagi membantah peran Eman Bata Dede (36). Bahkan, suami Ny Anastasia Moi yang baru dikarunia seorang anak bernama Salsa M Bata (2 bulan) itu, kini patut disebut sebagai pelestari budaya leluhurnya, Lio.

Ada banyak versi tentang tarian massal bernama gawi ini. Leo Misa Wasa, tetua utama Embu Jeke (subetnis Lio) mengisahkan, gawi tercipta ketika leluhurnya di waktu silam memenangkan perang melawan pendatang. Peperangan terjadi karena pendatang yang awalnya diterima secara baik, belakangan malah berkeinginan akan merebut wilayah kekuasaan Embu Jeke.
Kemenangan kubu Embu Jeke ini, kemudian disambut warga pendukungnya dengan penuh gembira. Wujudnya antara lain berupa tarian massal. Sambil bergandengan tangan, mereka membentuk formasi secara melingkar. Dengan membelakangi penonton, lingkaran penari dengan hentakan kaki seirama, secara perlahan bergeser ke kanan. Hentakan kaki mengikuti irama lagu, khususnya yang berjudul Gole Ngalu Gha. Tarian massal inilah yang disebut gawi.

Sejak lama gawi merupakan tarian rakyat yang dianggap sakral.Tarian itu hanya bisa dipentaskan pada acara-acara adat tertentu seperti disebutkan tadi. Belakangan terancam punah karena peminatnya mulai surut. Kalangan pemudanya lebih tertarik berdansa, joget ria, atau tarian lainnya. Penyebab lainnya adalah sikap para ahli waris gawi yang tidak mengizinkan tarian sakralnya itu dipentaskan di sembarang kesempatan pesta.

Dalam perkembangannya, gawi bahkan nyaris tergusur dalam acara adat sekalipun. Gawi hanya menjadi bagian kecil acara gembira rianya, sementara joget justru pilihan yang mendominasi. Karenanya, tidak perlu heran kalau di antara sesama warga etnis Lio hingga dua-tiga tahun lalu terpola dalam dua kelompok. Mereka adalah kelompok yang merasa sebagai pemilik gawi dan bisa memainkannya. Sementara kelompok lainnya adalah mereka yang juga merasa sebagai pemilik tarian rakyat itu, namun tidak tahu lagi bagaimana memperagakannya.

Seperti diakui oleh Eman Bata Dede, perbedaan kelompok ini dapat dicermati dari ucapannya ketika mereka pergi ke tempat pementasan gawi. Kelompok pertama pasti melukiskannya dengan "pergi gawi". Sedangkan kelompok lainnya dengan kalimat agak berbeda: "Pergi menonton gawi". "Ungkapan ini menandakan, ada kelompok yang masih memahami dan mahir mengikuti gawi. Akan tetapi, ada pula warga etnis Lio yang hanya senang menyaksikan dan tidak bisa ikut menari," tuturnya ketika ditemui di kediamannya di Onekore, Kota Ende, Pulau Flores (NTT), akhir September lalu.

Di kampung tua itu, keluarga Eman masih bergabung bersama orangtuanya, pasangan Thomas Bata (pensiunan guru SD) dan Theresia Masi. Rumah mereka yang setengah tembok tidak bisa langsung dijangkau kendaraan roda empat karena letaknya sekitar 50 meter dari mulut gang.

***

APA kontribusi Eman hingga anak pertama dari enam bersaudara itu disebut sebagai pelestari budaya Lio? Ia katakan, kalau bakat seninya diturunkan dari ibunya, Theresia Masi. Konon sang ibu di waktu lalu sering tampil di panggung menyanyikan lagu-lagu daerah dalam bahasa Lio.

Eman yang lahir di Rumah Sakit Jopu (Ende), 9 Juni 1965, mulai memperlihatkan bakat seninya ketika duduk di bangku kelas II Sekolah Teknik Menengah (STM) Negeri Ende, tahun 1983. Lagu pertama ciptaannya ketika itu berjudul Rusa Rasa (berantakan), berhasil menjadi hafalan di kalangan pemuda.

Lagu itu sendiri sebenarnya mengisahkan peristiwa nyata yang menimpa seorang gadis desa ketika sedang menjadi siswi di sebuah sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) di Kota Ende. Sang siswi ketika pacaran menggadaikan kegadisannya dan hamil. Reaksi orangtuanya sangat keras, tidak lagi mengirimkan biaya hingga sekolahnya pun berantakan. Eman lalu mengabadikan kisahnya dalam sebuah lagu berjudul Rusa Rasa.

Karena keinginan meluaskan pengalaman bermusik, pernah setamat STM tahun 1985 Eman merantau ke Jakarta. Di Jakarta, Eman yang tergolong anak dari keluarga berada untuk ukuran Kampung Onekore (Ende), tidak canggung mengawali perjalanan kariernya dengan menjadi pengamen di sudut-sudut Kota Metropolitan. Dalam waktu singkat, ia berhasil membentuk grup musik bernama Silgita, meski pementasannya untuk panggung terbatas. Ia juga aktif menciptakan lagu-lagu Lio serta mengangkat tarian rakyat, gawi, untuk dipentaskan di beberapa kesempatan di Jakarta, antara lain di Ancol.

Setelah sekitar enam tahun di Jakarta, Eman tahun 1990 kembali ke kampung asalnya di Ende. Situasinya pun berbeda. Aktivitas musik jalanan tidak bisa diandalkan untuk mendapatkan uang, apalagi sebagai tumpuan untuk masa depan. Di Kota Ende, Eman sempat memperoleh peluang menjadi pengawai negeri sipil (PNS), namun ia menolaknya. Dia justru memilih jadi tukang bangunan. Pilihan pekerjaan terakhir ini pun ternyata hanya untuk mengisi waktu. Ia tetap setia dengan tekad awalnya, bakat seninya harus menjadi tumpuan hidup dengan memberi perhatian khusus pada seni tari dan lagu-lagu Lio.

***
DENGAN bermodalkan sekitar 100 judul lagu Lio ciptaannya, Eman sejak tahun 1993 mulai berusaha memasuki rekaman dalam pita kaset. Namun, usahanya bersama grup musik bernama Raka Wesa (sampai tuntas), baru berhasil tahun 1995 atas kerja sama dengan Sanggar Nusa Indah, Ende. Album pertama hasil rekamannya berjudul Gawi Gole Ngalu Gha. Sebanyak 2.000 kopi kasetnya langsung laris, terutama di Ende. Menyusul awal tahun 2001 ini, Eman bersama grup musiknya kembali masuk rekaman. Namun, kali ini dengan langkah lebih maju: rekaman lagu-lagunya dilengkapi gambar hidup dalam pelat VCD. Menyusul
rekaman terakhir ini, gawi semakin mendapat tempat luas di kalangan masyarakat terutama di wilayah Kabupaten Ende. Kini Eman merasa bangga, karena obsesinya melestarikan peninggalan budaya Lio mulai terwujud. (Frans Sarong)

KOMPAS - Jumat, 19 Oktober 2001, Halaman 12
Penulis: Frans Sarong
Lanjut...

Tegakkan UU Hak Cipta

RATUSAN siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Yohannes XXIII Maumere, Kabupaten Sikka, menggelar aksi protes dan meminta Kapolres Sikka menangkap dan memroses Athiong yang diduga membajak (menggandakan tanpa seizin penciptanya) kaset compacd dicks (CD) lagu-lagu daerah hasil ciptaan salah seorang siswa sekolah itu. Buah cipta itu sudah dijadikan aset sekolah yang dikembangkan dalam usaha permusikan di bumi Sikka.

Berita ini menggugah kita untuk melihat kembali seperti apa proteksi terhadap buah cipta seseorang di negara ini. Berita pembajakan CD yang mengundang aksi protes ratusan siswa sekolah kejuaran itu bukan merupakan peristiwa baru. Sebelumnya protes yang sama dilayangkan Eman Bata Dede, pencipta lagu gawi asal Ende.

Lagu gawi dan beberapa lagu di pasar musik daerah dibajak oknum yang hanya mengail rezeki tanpa keringat. Namun protes yang juga diadukan ke aparat penegak hukum kurang direspons. Kaset CD Gawi bajakan itu dijual dengan harga murah dan cukup laris di pasar musik lagu daerah. Perbuatan ini jelas merugikan pencipta lagu yang oleh negara diregulasi dengan undang-undang hak cipta.

Fenomena terakhir oknum yang mengaku bernama Athiong diduga membajak kaset CD lagu-lagu daerah milik SMK Yohannes XXIII Maumere. Kaset bajakan itu dijual di Toko Meteor, namun pemilik toko Aryono membantah di tokonya ada orang bernama Athiong dan menggandakan kaset CD tersebut. Walaupun pemilik toko membantah, polisi harus tetap menyelidikinya, jika perlu diproses secara hukum jika ditemukan bukti-bukti yang cukup.

Dengan aksinya itu para siswa SMK Yohannes XXIII Maumere mau menggugah aparat penegak hukum agar bekerja ekstra mengusut dan memroses pihak-pihak yang terlibat dalam pembajakan itu. Pembajakan kaset CD di Maumere boleh dikatakan sudah meresahkan karena sudah sering dikeluhkan para pencipta lagu-lagu daerah. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) harus membuka mata lebar-lebar, memasang kuping baik-baik mendengar dan melihat fenomena pembajakan kaset CD yang sudah meresahkan itu.

Jika kasus ini tidak direspons secara serius, publik Kabupaten Sikka khususnya, bahkan Flores dan NTT bisa menilai aparat penegak hukum apatis dan tidak tanggap terhadap hal cipta seseorang. Jika kasus ini tidak diproses aparat penegak hukum dapat dituduh ikut menyuburkan mafia pembajakan kaset CD, entah langsung maupun tidak langsung. Jika kaset CD itu sudah beredar luas, kita yakin tidak menyulitkan aparat dalam menyelidiki kasus tersebut. Korupsi saja bisa dibongkar apalagi kasus pembajakan yang mudah diperoleh barang buktinya. Kita percaya aparat kepolisi di bawah komando AKBP Endang Syafruddin mampu memberantas praktek pembajakan kaset CD yang sudah meresahkan itu.

Jika rombongan siswa SMK itu melayang protes dengan berteriak dengan menggunakan sound system, itu hanya sekadar mau memberitahukan kepada khalayak Kota Maumere bahwa telah terjadi pembajakan kaset CD lagu-lagu daerah milik SMK Yohannes XIII Maumere. Diharapkan masyarakat yang telah membeli kaset CD hasil bajakan entah di toko mana pun, dapat melaporkan kepada polisi dan secara sukarela menjadi saksi dalam proses selanjutnya. Bisa saja kaset bajakan yang dimiliki warga itu dapat dijadikan barang bukti oleh polisi dalam menangkap dan memroses pelaku pembajakan itu.

Perjuangan ratusan siswa SMK Yohannes ini patut mendapat dukungan luas, terutama dari ASANI (Asosiasi Seni Indonesia) dan para wakil rakyat di daerah itu. ASANI Cabang Maumere harus mampu menunjukkan taringnya memperjuangkan hak cipta seseorang yang dibajak. Jika ASANI bangkit dan berjuang bersama para siswa ini dan mendapat dukungan politik dari Dewan, diyakini bisa membuahkan hasilnya.

Jika perlu Dewan menindaklanjuti dan mengimplementasikan UU Hak Cipta ke dalam peraturan daerah (Perda). Hal ini perlu karena Maumere merupakan kota yang cukup berkembang dalam dunia musik, terutama lagu-lagu daerah. Di sana ada Bobby Tunya yang sudah punya studio rekaman, di sana ada Papace yang kreatif mengubah lagu-lagu daerah yang laris manis di pasar musik lagu daerah dan masih banyak pencipta lagu yang buah karyanya diminati masyarakat. *

Salam Pos Kupang 30 Maret 2007

http://www.indomedia.com/poskup/2007/03/30/edisi30/salam.htm
Lanjut...

Eman Bata Dede adukan pembajakan lagu Gawi

Maumere, PK -- Penyanyi dan pencipta lagu Gawi daerah Ende Lio, Eman Bata Dede, mengadu ke Kepolisian Resor (Polres) Sikka karena lagu-lagu Gawi karyanya dibajak lalu dijual di sejumlah toko di Kota Maumere. Usai menerima laporan, Polres Sikka langsung melakukan operasi dan menyita VCD bajakan yang dijual di tiga toko.

"Kami menerima laporan korban bahwa kaset VCD-nya dibajak lalu dijual di Kota Maumere. Kami pun turun ke lapangan mendapati VCD bajakan itu. Kita akan berkoordinasi dengan kejaksaan untuk melacak pelaku yang menggandakan VCD itu sampai dijual ke Maumere," ujar Kapolres Sikka, AKBP Drs. Sugeng Sunariyadi, Jumat (3/2/2006).

Secara terpisah, Kepala Unit (Kanit) 2 Reskrim Polres Sikka, Aiptu Petrus Kanisius, didampingi anggota Kanit, Brigpol I Wayan Gde Sudarsana, menjelaskan, kepingan VCD bajakan yang berhasil disita yakni Gawi I sebanyak satu kepingan, Gawi III dua keping, Gawi IV satu keping, Gawi V dua keping dan VCD Mataraga dua kepingan. Kepingan VCD bajakan itu disita dari toko milik Kaharudin, Toko Hani Rental serta Duta Musik.

"Korban melapor ada kaset bajakan dijual di Maumere. Kaset bajakan itu sudah kami sita. Perbuatan menggandakan karya orang tanpa izin itu diancam pasal 72 (1) UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang hak cipta dengan ancaman hukuman penjara dua sampai lima tahun," kata Petrus.

Eman Bata Dede yang ditemui terpisah di Maumere, mengungkapkan, dirinya melapor ke Polres Sikka karena mendapat informasi kaset VCD bajakan lagu ciptaannya dijual di Maumere.

"Mereka jual kaset bajakan dengan harga Rp 10 ribu/keping tanpa izin. Sementara kaset VCD asli dijual seharga Rp 50 ribu/keping, dan VCD itu baru dibuat. Saya lapor polisi karena merasa dirugikan. Kepingan VCD milik kami diproduksi 10.000 kepingan dan dipasarkan di Kabupaten Ende, namun ada yang membajaknya," katanya.

Eman Dede, warga Jalan Hayam Wuruk, Kelurahan Onekore, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, mengatakan, dengan adanya kepingan VCD bajakan itu, dirinya mengalami kerugian cukup besar. "Kerja keras saya tidak ada artinya. Saya berterima kasih karena Polres Sikka sangat tanggap dan langsung operasi sehingga menemukan kepingan VCD bajakan itu," ujar Eman. (ira)

Pos Kupang 6 Februari 2006
http://www.indomedia.com/poskup/2006/02/06/edisi06/0602flo3.htm

Lanjut...