Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 27 September 2008

Eman Bata Dede, Pelestari Budaya Lio

HARUS diakui, tarian rakyat bernama gawi selama lebih setahun belakangan telah berhasil mendominasi berbagai kesempatan pesta suka atau bergembira ria di Ende dan sekitarnya. Pengaruhnya kini meluas di kota dan perkampungan lain di Pulau Flores.

Sementara di Kota Kupang -kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di Pulau Timor-gawi di kalangan terbatas juga telah menjadi pilihan mengisi acara pesta suka (gembira). Kehadiran gawi secara perlahan telah berhasil menggeser tarian massal lain yang berbau "impor" seperti dansa, joget atau poco-poco.

Terletak di bagian tengah Pulau Flores, Kabupaten Ende adalah satu dari lima kabupaten di pulau tersebut. Penduduk Ende yang kini sekitar 220.000 jiwa, adalah warga dari dua etnis induknya: Lio dan Ende. Warga etnis Lio mendominasi daerah pegunungan hingga pedalaman. Sementara warga etnis Ende tersebar sepanjang pesisir dan terbanyak di Kota Ende dan sekitarnya.

Khusus di lingkungan etnis Lio, gawi adalah tarian wajib ketika pesta adat seperti syukuran panen yang disebut mbama, atau ketika wake laki (pengukuhan) mosalaki (raja), nai sao (peresmian rumah adat utama) yang disebut sao ria, atau one ria.

Gawi pun bisa dipentaskan ketika acara bebas atau gembira ria ketika pesta nikah. Dua jenis tarian massal yang masih menjadi pilihan susulan adalah roka tenda dan poco-poco. Sementara tarian jenis joget dan juga dansa, sudah amat jarang muncul dalam pentas.

***
SIAPA yang paling berpengaruh dalam perubahan pentas acara suka ini? Dalam hal ini tidak ada yang berani meragukan apalagi membantah peran Eman Bata Dede (36). Bahkan, suami Ny Anastasia Moi yang baru dikarunia seorang anak bernama Salsa M Bata (2 bulan) itu, kini patut disebut sebagai pelestari budaya leluhurnya, Lio.

Ada banyak versi tentang tarian massal bernama gawi ini. Leo Misa Wasa, tetua utama Embu Jeke (subetnis Lio) mengisahkan, gawi tercipta ketika leluhurnya di waktu silam memenangkan perang melawan pendatang. Peperangan terjadi karena pendatang yang awalnya diterima secara baik, belakangan malah berkeinginan akan merebut wilayah kekuasaan Embu Jeke.
Kemenangan kubu Embu Jeke ini, kemudian disambut warga pendukungnya dengan penuh gembira. Wujudnya antara lain berupa tarian massal. Sambil bergandengan tangan, mereka membentuk formasi secara melingkar. Dengan membelakangi penonton, lingkaran penari dengan hentakan kaki seirama, secara perlahan bergeser ke kanan. Hentakan kaki mengikuti irama lagu, khususnya yang berjudul Gole Ngalu Gha. Tarian massal inilah yang disebut gawi.

Sejak lama gawi merupakan tarian rakyat yang dianggap sakral.Tarian itu hanya bisa dipentaskan pada acara-acara adat tertentu seperti disebutkan tadi. Belakangan terancam punah karena peminatnya mulai surut. Kalangan pemudanya lebih tertarik berdansa, joget ria, atau tarian lainnya. Penyebab lainnya adalah sikap para ahli waris gawi yang tidak mengizinkan tarian sakralnya itu dipentaskan di sembarang kesempatan pesta.

Dalam perkembangannya, gawi bahkan nyaris tergusur dalam acara adat sekalipun. Gawi hanya menjadi bagian kecil acara gembira rianya, sementara joget justru pilihan yang mendominasi. Karenanya, tidak perlu heran kalau di antara sesama warga etnis Lio hingga dua-tiga tahun lalu terpola dalam dua kelompok. Mereka adalah kelompok yang merasa sebagai pemilik gawi dan bisa memainkannya. Sementara kelompok lainnya adalah mereka yang juga merasa sebagai pemilik tarian rakyat itu, namun tidak tahu lagi bagaimana memperagakannya.

Seperti diakui oleh Eman Bata Dede, perbedaan kelompok ini dapat dicermati dari ucapannya ketika mereka pergi ke tempat pementasan gawi. Kelompok pertama pasti melukiskannya dengan "pergi gawi". Sedangkan kelompok lainnya dengan kalimat agak berbeda: "Pergi menonton gawi". "Ungkapan ini menandakan, ada kelompok yang masih memahami dan mahir mengikuti gawi. Akan tetapi, ada pula warga etnis Lio yang hanya senang menyaksikan dan tidak bisa ikut menari," tuturnya ketika ditemui di kediamannya di Onekore, Kota Ende, Pulau Flores (NTT), akhir September lalu.

Di kampung tua itu, keluarga Eman masih bergabung bersama orangtuanya, pasangan Thomas Bata (pensiunan guru SD) dan Theresia Masi. Rumah mereka yang setengah tembok tidak bisa langsung dijangkau kendaraan roda empat karena letaknya sekitar 50 meter dari mulut gang.

***

APA kontribusi Eman hingga anak pertama dari enam bersaudara itu disebut sebagai pelestari budaya Lio? Ia katakan, kalau bakat seninya diturunkan dari ibunya, Theresia Masi. Konon sang ibu di waktu lalu sering tampil di panggung menyanyikan lagu-lagu daerah dalam bahasa Lio.

Eman yang lahir di Rumah Sakit Jopu (Ende), 9 Juni 1965, mulai memperlihatkan bakat seninya ketika duduk di bangku kelas II Sekolah Teknik Menengah (STM) Negeri Ende, tahun 1983. Lagu pertama ciptaannya ketika itu berjudul Rusa Rasa (berantakan), berhasil menjadi hafalan di kalangan pemuda.

Lagu itu sendiri sebenarnya mengisahkan peristiwa nyata yang menimpa seorang gadis desa ketika sedang menjadi siswi di sebuah sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) di Kota Ende. Sang siswi ketika pacaran menggadaikan kegadisannya dan hamil. Reaksi orangtuanya sangat keras, tidak lagi mengirimkan biaya hingga sekolahnya pun berantakan. Eman lalu mengabadikan kisahnya dalam sebuah lagu berjudul Rusa Rasa.

Karena keinginan meluaskan pengalaman bermusik, pernah setamat STM tahun 1985 Eman merantau ke Jakarta. Di Jakarta, Eman yang tergolong anak dari keluarga berada untuk ukuran Kampung Onekore (Ende), tidak canggung mengawali perjalanan kariernya dengan menjadi pengamen di sudut-sudut Kota Metropolitan. Dalam waktu singkat, ia berhasil membentuk grup musik bernama Silgita, meski pementasannya untuk panggung terbatas. Ia juga aktif menciptakan lagu-lagu Lio serta mengangkat tarian rakyat, gawi, untuk dipentaskan di beberapa kesempatan di Jakarta, antara lain di Ancol.

Setelah sekitar enam tahun di Jakarta, Eman tahun 1990 kembali ke kampung asalnya di Ende. Situasinya pun berbeda. Aktivitas musik jalanan tidak bisa diandalkan untuk mendapatkan uang, apalagi sebagai tumpuan untuk masa depan. Di Kota Ende, Eman sempat memperoleh peluang menjadi pengawai negeri sipil (PNS), namun ia menolaknya. Dia justru memilih jadi tukang bangunan. Pilihan pekerjaan terakhir ini pun ternyata hanya untuk mengisi waktu. Ia tetap setia dengan tekad awalnya, bakat seninya harus menjadi tumpuan hidup dengan memberi perhatian khusus pada seni tari dan lagu-lagu Lio.

***
DENGAN bermodalkan sekitar 100 judul lagu Lio ciptaannya, Eman sejak tahun 1993 mulai berusaha memasuki rekaman dalam pita kaset. Namun, usahanya bersama grup musik bernama Raka Wesa (sampai tuntas), baru berhasil tahun 1995 atas kerja sama dengan Sanggar Nusa Indah, Ende. Album pertama hasil rekamannya berjudul Gawi Gole Ngalu Gha. Sebanyak 2.000 kopi kasetnya langsung laris, terutama di Ende. Menyusul awal tahun 2001 ini, Eman bersama grup musiknya kembali masuk rekaman. Namun, kali ini dengan langkah lebih maju: rekaman lagu-lagunya dilengkapi gambar hidup dalam pelat VCD. Menyusul
rekaman terakhir ini, gawi semakin mendapat tempat luas di kalangan masyarakat terutama di wilayah Kabupaten Ende. Kini Eman merasa bangga, karena obsesinya melestarikan peninggalan budaya Lio mulai terwujud. (Frans Sarong)

KOMPAS - Jumat, 19 Oktober 2001, Halaman 12
Penulis: Frans Sarong

Tidak ada komentar: